Saturday, July 19, 2008
Sangkakala 19 Juli
Sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala,

sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala,

sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala,

sangkakala.

tiupan pertama menggoncang dunia
tiupan kedua telanjanglah anak manusia
tiupan ketiga aku mabok kata

Sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala,

sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala,

sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala, sangkakala,

sangkakala.

kita akan selalu bersama kan? kan? kan? kan? kan? kan? kan? kan? kan? kan? kan?

kan? kan? kan? kan? kan? kan? kan? kan???

###########

19 Juli kelahiran sangkakala dihadiri para dewa-dewi yang asyik melahap jamuan
 
posted by Anas Fatkhurrozi at 7:23 PM | Permalink | 1 comments
Pak Tua Yang Muda
ini tahun bertambah umurmu
kamu tua

namun lihat di siang hari
matahari masih gagah menyinari
dan malam selalu temaram, gelap
lalu kamu hilang

ini tahun bertambah umurmu
kulitmu jadi kerut
takut matahari menggigit kulit
takut malam menjerit
menyapa maut
ah...biarkan saja siang dengan mataharinya
malam dengan temaramnya
aku tahu kau selalu muda
kau akan abadi
karna kau takkan mati sebelum berarti

19 Juli 2008
hepi besdey Sangkakala
 
posted by Anas Fatkhurrozi at 7:15 PM | Permalink | 1 comments
39 Anak Elang
setengah dua malam
udara sedikit dingin
menikmati senggama bersama Cleopatra dan secangkir kopi manis
iba, bingung, takut terhuyung-huyung datang
api membakar ubun-ubun
panas!
panas!
panas!

kenapa kerakusan selalu dibiarkan menang?
kenapa hukum dan aturan hanya diciptakan untuk kewibawaan?
kenapa orang-orang alit dan awam mesti diam menjadi objek pelampiasan?

ku lihat 39 anak elang datang
belajar untuk bisa terbang
namun diam-diam ada beberapa pemburu
membius mereka hingga jatuh pingsan
dan bulu-bulu sayap mereka dicabuti satu-satu
sakit!
sakit!
sakit!

maka hukumlah mereka yang mesti dihukum
karena hukuman diperuntukkan bagi yang melanggar
bukan karena prestise, kewibawaan dan kemaluan

setiap melangkah haruslah dipikir dengan otak dan hati yang jernih
bukan asal datang dan asal bilang "kalian dipulangkan!"
dan lihat mata mereka nanar, tanpa pengharapan, masa depan bisa hilang

apakah ini kesepakatan di bulan kesedihan?
apakah ini kesepakatan dari kumpulan orang pintar?
apalah artinya kesepakatan jika dipaksakan?
apalah artinya orang pintar jika bersikap tidak benar?

sajadah panjang aku gelar
Isya' kudirikan
dan aku wiridkan istighfar buat mereka yang bawa payung
"wahai pembawa payung!
apa yang kau lakukan jika anak-anakmu basah kuyup kehujanan?"
kau hapal dalam-dalam sabda Nabi "ilmu wajib dicari"
tapi kau t'lah halang-halangi 39 anakmu dengan peluru -aturan-aturan- yang menyakitkan
maka jadikan saja sabda suci itu tisu toilet yang bau

dan kau yang ngaku mahasiswa
apakah kalian hanya duduk diam
dan menikmati onanimu di hammam?
kita harus bergerak dan bertindak
sudah saatnya gerakan-gerakan revolusi dilancarkan
supaya hukum dan aturan layak digunakan

11 Juli 2008
 
posted by Anas Fatkhurrozi at 7:13 PM | Permalink | 0 comments
Sunday, July 6, 2008
W. S. RENDRA (7 November 1935) ;JERITAN KAUM JELATA, SEMBILU UNTUK YANG DURHAKA
Membaca sajak Rendra bagaikan menyelami sebuah cerita, pertama mendayu pelan, kemudian akan kita temukan sebuah klimaks dan anti klimaks dengan irama dan ketukan yang beraturan, sehingga sajaknya yang terkesan panjang bisa menyirep pembacanya hingga ikut terbakar. Ini dikarenakan dalam sajak-sajaknya, Rendra sering menggunakan jenis sajak naratif, jenis sajak yang mengungkapkan sebuah cerita dan penjelasan sang penyair.
Maka, Sajaknya yang ‘membakar’, berisi amarah, dan pemberontakan sangat cocok sekali jika dideklamasikan oleh Rendra sendiri, yang notabene adalah sang pionir deklamasi puisi Indonesia. Ia percaya bahwa puisi akan selalu disenangi dan tidak akan mati jika ukuran yang dipakai dalam puisi adalah mendengar bukan membaca. Kalau ukurannya membaca maka secara tidak langsung penikmat puisi akan merasa terbatasi dan persaingan dengan karya-karya tulis lainnya akan semakin ketat. Sedangkan kalau ukurannya adalah mendengar maka puisi bagaikan sebuah nyanyian dengan berjuta-juta penikmat. Dan dari pernyataanya diatas, pria yang pernah lahir di Solo ini menjadi satu-satunya penyair Indonesia yang mendapat applause terpanjang dari para audiens dalam ‘poetry international’ di Rotterdam pada tahun 1971. (Sinar Harapan, 21 Juni 1971).
Rendra adalah sosok penyair yang memiliki nada suara dan gaya penampilan yang berbeda dari penyair-penyair lainnya, tak ayal para audiens atau penonton akan terpana ketika Rendra ‘berkoar-koar’ di atas pentas. Ya, sajaknya akan lebih nikmat didengar dan enak ditonton jika kita melihat Rendra secara langsung berdeklamasi (setidaknya inilah kesan saya saat melihat salah satu adegan deklamasinya dalam film “yang muda yang bercinta” karya Syuman Jaya yang dilarang penayangannya pada zaman Orde Baru). Kepiawaiannya dalam berdeklamasi ini dikarenakan Rendra adalah seorang dramawan semenjak kecil, “Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. (Wikipedia Indonesia). Dan kemudian ‘Bengkel Teater’nya lahir pada tahun 1961.
Sajak-sajaknya adalah bentuk simpatinya kepada manusia-manusia yang menjadi korban nasib, korban birokrasi yang kaku, dan korban formalitas agama yang beku. Sajak ‘bersatulah pelacur-pelacur kota Jakarta’ adalah salah satu contohnya. Sebuah sajak yang menggambarkan kegeraman Rendra terhadap para birokrat yang menganggap mereka (pelacur-pelacur itu) sebagai kebobrokan masyarakat. Dan melalui kata-katanya dalam ‘pamflet’ menyebabkan ia terkena aksi teror yang berujung penjara.
Dalam ‘pesan pencopet kepada pacarnya’ secara terang-terangan Renda mengaku puisinya adalah puisi oposisi;
Tanpa oposisi, Sumpek, Dan tanpa oposisi kamu tak dapat Melihat kepalsuan gambar-gambarmu
Hal ini dikarenakan Rendra ingin menunjukkan bahwa setiap karya seni bisa dijadikan wahana untuk berbenah diri, supaya keadilan bisa dirasakan secara merata. Menurutnya karya yang lahir darinya baik itu sajak ataupun drama tak lebih dari sebuah goro-goro. Di dalam goro-goro, Semar, Bagong, Gareng dan Petruk memang melancarkan kritikan yang menginginkan keadilan yang merata, namun tidak menyarankan perubahan kekuasaan.
 
posted by Anas Fatkhurrozi at 8:10 AM | Permalink | 0 comments