Sunday, July 6, 2008
W. S. RENDRA (7 November 1935) ;JERITAN KAUM JELATA, SEMBILU UNTUK YANG DURHAKA
Membaca sajak Rendra bagaikan menyelami sebuah cerita, pertama mendayu pelan, kemudian akan kita temukan sebuah klimaks dan anti klimaks dengan irama dan ketukan yang beraturan, sehingga sajaknya yang terkesan panjang bisa menyirep pembacanya hingga ikut terbakar. Ini dikarenakan dalam sajak-sajaknya, Rendra sering menggunakan jenis sajak naratif, jenis sajak yang mengungkapkan sebuah cerita dan penjelasan sang penyair.
Maka, Sajaknya yang ‘membakar’, berisi amarah, dan pemberontakan sangat cocok sekali jika dideklamasikan oleh Rendra sendiri, yang notabene adalah sang pionir deklamasi puisi Indonesia. Ia percaya bahwa puisi akan selalu disenangi dan tidak akan mati jika ukuran yang dipakai dalam puisi adalah mendengar bukan membaca. Kalau ukurannya membaca maka secara tidak langsung penikmat puisi akan merasa terbatasi dan persaingan dengan karya-karya tulis lainnya akan semakin ketat. Sedangkan kalau ukurannya adalah mendengar maka puisi bagaikan sebuah nyanyian dengan berjuta-juta penikmat. Dan dari pernyataanya diatas, pria yang pernah lahir di Solo ini menjadi satu-satunya penyair Indonesia yang mendapat applause terpanjang dari para audiens dalam ‘poetry international’ di Rotterdam pada tahun 1971. (Sinar Harapan, 21 Juni 1971).
Rendra adalah sosok penyair yang memiliki nada suara dan gaya penampilan yang berbeda dari penyair-penyair lainnya, tak ayal para audiens atau penonton akan terpana ketika Rendra ‘berkoar-koar’ di atas pentas. Ya, sajaknya akan lebih nikmat didengar dan enak ditonton jika kita melihat Rendra secara langsung berdeklamasi (setidaknya inilah kesan saya saat melihat salah satu adegan deklamasinya dalam film “yang muda yang bercinta” karya Syuman Jaya yang dilarang penayangannya pada zaman Orde Baru). Kepiawaiannya dalam berdeklamasi ini dikarenakan Rendra adalah seorang dramawan semenjak kecil, “Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. (Wikipedia Indonesia). Dan kemudian ‘Bengkel Teater’nya lahir pada tahun 1961.
Sajak-sajaknya adalah bentuk simpatinya kepada manusia-manusia yang menjadi korban nasib, korban birokrasi yang kaku, dan korban formalitas agama yang beku. Sajak ‘bersatulah pelacur-pelacur kota Jakarta’ adalah salah satu contohnya. Sebuah sajak yang menggambarkan kegeraman Rendra terhadap para birokrat yang menganggap mereka (pelacur-pelacur itu) sebagai kebobrokan masyarakat. Dan melalui kata-katanya dalam ‘pamflet’ menyebabkan ia terkena aksi teror yang berujung penjara.
Dalam ‘pesan pencopet kepada pacarnya’ secara terang-terangan Renda mengaku puisinya adalah puisi oposisi;
Tanpa oposisi, Sumpek, Dan tanpa oposisi kamu tak dapat Melihat kepalsuan gambar-gambarmu
Hal ini dikarenakan Rendra ingin menunjukkan bahwa setiap karya seni bisa dijadikan wahana untuk berbenah diri, supaya keadilan bisa dirasakan secara merata. Menurutnya karya yang lahir darinya baik itu sajak ataupun drama tak lebih dari sebuah goro-goro. Di dalam goro-goro, Semar, Bagong, Gareng dan Petruk memang melancarkan kritikan yang menginginkan keadilan yang merata, namun tidak menyarankan perubahan kekuasaan.
 
posted by Anas Fatkhurrozi at 8:10 AM | Permalink |


0 Comments: